Butuh Interpretasi Bukan Definisi
Mungkin, ini yang menjadi salah satu alasan kenapa aku
enggan mendalami Ilmu Filsafat. Bagiku, mempersoalkan hal-hal mistik tidak akan
menghasilkan titik temu. Dialektika yang muncul pun, menurutku, hanya akan menghasilkan
hasil-hasil spekulatif yang kebenarannya tidak akan pernah bisa dibuktikan.
Filsafat memang induk berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Semua cabang ilmu, berangkat dari filsafat. Karena kegelisahan, keragu-raguan,
dan keinginan untuk membuktikan kebenaran, para filsuf beramai-ramai
menghadirkan dogma dan pandangan terhadap hal-hal mistik.
Tak jarang, dogma dan pandangan para filsuf itu pun
menjadi acuan di era sekarang. Bukannya,
aku menafikan kehebatan orang-orang sekarang, namun, realitas yang aku lihat
adalah, saat ini orang-orang cenderung silau dan mengamini dogma yang
diproklamirkan para filsuf.
Menurutku, hal ini mengindikasikan terjadinya dekadensi
pemikir. Rasanya, sangat benar jika era saat ini diidetikkan dengan hal-hal
yang instan. Jika kita perhatikan, hal yang instan tersebut, kini, tidak hanya
berafiliasi pada sesuatu yang bisa mengenyangkan perut. Tetapi, keinstanan
juga telah mengakar pada budaya pendidikan kita.
Di kampus misalnya, ketika kita mendapatkan tugas dari dosen,
karena malas dan ingin mendapatkan hasil yang instan, terkadang, kita mengambil
jalan pintas dengan menyontek dan melakukan plagiat. Tentu, praktik-paraktik
ini menunjukan, bagaimana anugerah akal tidak dimaksimalkan dengan baik.
Tentu, hal tersebut sangatlah berbeda dengan para filsuf
terdahulu, menurutku, mereka benar-benar memaksimalkan potensi akal yang
diberikan Tuhan. Mereka senantiasa memikirkan sesuatu yang mereka anggap tidak
rasional. Juga memikirkan hal-hal yang mungkin bagi orang sepertiku tidak
pernah terpikirkan.
Bagiku, ini adalah perbedaan mendasar antara para filsuf
dengan orang sepertiku. Kegelisahan dan keingintahuannya yang besar, mereka
(filsuf) luapkan dengan membaca dan berpikir. Alhasil, meskipun, kini raga
mereka (filsuf) mati, namun pemikirannya tak pernah mati.
Salah satu filsuf terkemuka, Rene Des Cartes, pernah
mengatakan, Aku Berpikir Maka Aku Ada. Menurutku, ini bukanlah perkataan
sederhana. Tetapi, perkataan ini merupakan hasil pembacaan dan pemikirannya terhadap
alam. Penafsiran tersebut juga menunjukan, bagaimana ia telah memaknai hidup
dan kenapa ia harus hidup.
Berpikir memang membuat kita mengerti. Begitu juga para
filsuf yang ingin mencoba memaknai eksistensi mereka. Hidup bukanlah hal yang
sederhana. Karena bagiku, kesejatian hidup akan lebih terasa ketika aku mampu
mengenal jiwaku.
Mungkin, hingga saat ini, aku juga belum mengenal jiwaku.
Terkadang, pertanyaan yang bersinggungan dengan keimananku kerap muncul dalam
pikiranku. Pertanyaan yang selama ini selalu kusimpan dan tidak ingin
kuperdebatkan. Bagiku, pertanyaan itu cukup kujawab dengan keimananku.
Lagi-lagi, memperdebatkan hal-hal yang bersinggungan
dengan keimanan, menurutku, sesuatu yang sangat riskan. Terlebih, bagi mereka
yang belum memiliki keimanan yang cukup kuat. Karena bagaimanapun, keimanan
adalah sebuah kekuatan yang bisa membentengi dan menyelamatkan kita dari
asupan-asupan yang bisa mengaburkan keimanan.
Tak hanya itu, keimanan juga yang menghantarkan kita pada
suatu tujuan. Sebuah tujuan dari semua tujuan, dan sebuah akhir dari semua
akhir serta sebuah hakikat dari semua hakikat hidup. Dalam tulisanku, tak
jarang nama-Nya kuabadikan dalam ide dan gagasanku.
Seperti kita tahu, di dunia ini banyak sekali agama. Dan
kesemuanya mengarah pada suatu tujuan yakni, Tuhan. Berbagai tanda pun, mereka
simbolisasikan dengan sifat-sifat Tuhan. Sifat-sifat yang menurutku, merepresentasikan
wujud Tuhan.
Secara pribadi, aku termasuk orang yang tidak
menginginkan adanya pertanyaan-pertanyaan seperti, apa itu Tuhan, Tuhan itu berwujud
seperti apa, dan Tuhan itu ada di mana? Bagiku, pertanyaan-pertanyaan tersebut
tidak perlu dipertanyakan, karena yang terpenting aku percaya pada Tuhan.
Terlepas dari konsep dan interpretasi yang aku hadirkan mengenai Tuhan.
Bagiku, Tuhan cukup seperti yang apa aku pahami. Asalkan,
pemahaman tersebut tidak keluar dari sumber dan ajaran yang aku imani. Karena
aku yakin, setiap orang memiiliki persepsi yang berbeda tentang Tuhan. Dalam syair
pun, kita pernah berfirman, Aku (Tuhan) adalah bagaimana prasangka hamba-Ku.
Jadi, untuk apa kita memmpertanyakan Tuhan. Meski
demikian, aku juga bukan orang yang anti filsafat. Karena bagaimanapun,
filsafat mengajarkanku untuk berpikir, memahami setiap tanda dan fenomena yang
terjadi di dunia ini. Dengan berfilsafat, aku meyakini sepenuh hati, apa yang
selama ini aku yakini.
Berfilsafat memang menghadirkan dua kemungkinan. Yang pertama,
dengan berfilsafat, keimanan seseorang bisa bertambah, juga dengan berfilsafat,
keimanan bisa sirna ditelan paradigma-paradigma baru, yang sedikit–banyak akan
mempenagruhi paradigma yang selama ini kita imani.
Namun, filsafat juga mestinya tidak dipahami sesederhana
itu. Bagiku, filsafat juga melatih akal kita untuk berpikir dan berusaha untuk
tidak menerima dan membenarkan sepenuhnya, apapun yang selama ini diyakini dan mengakar
menjadi doktrin (agama) yang tidak boleh kita langgar.
Aku dan Tuhan memang dua unsur dan zat yang berbeda.
Namun, perbedaan tersebut tak lantas membuatku jauh dari-Nya. Karena aku yakin,
Tuhan ada di dekatku dan akan selalu menyertaiku. Tuhan itu adalah diriku,
diriku yang telah menyatu dengan diri-Nya.
Dalam tulisan ini, aku tidak ingin mendifinisikan tentang
Tuhan. Tuhan cukup seperti apa yang aku pahami. Karenanya, membincang masalah Tuhan
sama halnya membincang tentang kesejatian jiwa. Bagi mereka yang sudah mengenal
empunya, batinya, jiwanya tidak akan mempertanyakan Tuhan.
Rasanya, dalam tulisan ini, aku juga tidak mengabadikan
penafsiran Tuhan secara literal. Semua yang kutulis ini, hanya berupa
pemamahamku tentang Tuhan, yang mungkin tidak akan berkaitan dengan pemahaman Tuhan
yang sebenarnya. Entah, aku juga tak tahu Tuhan itu seperti apa. Hanya saja yang
terpenting, aku mengenal diriku.
Posting Komentar