Surat untuk Desa
Setelah membaca opini Pak Muksin, berjudul "Mengawal Dana Desa" yang dimuat harian Kompas, 10 Januari 2015, tiba-tiba, saya teringat kondisi desa saya di sebelah timur Serang sana. Tiap kali mudik, rasanya, wajah desa itu tak banyak yg berubah. Desa itu masih tetap menahan diam. Mungkin, diam dalam gejolak. Seperti Patrice Evra kalau berpapasan dengan Luis suarez. Saat petani dan nelayan tuna pencarian, desa itu masih juga tetap diam. Karena selalu diam, akhirnya, diam-diam, para pemerintah desa pun merayakan kediaman itu. Meski tahu ada perayaan, desa itu tetap tak bisa menanggalkan tradisi kediamannya. Nampaknya, desa itu sudah betah dan menikmati betul kediamannya. Entah sampai kapan? Mungkin, menunggu kedatangan sang inisiator yg hingga hari ini masih sibuk ngantor. Oke, lanjut.
Sebenarnya, paragraf di atas cuma lanturan imaji yg nggak perlu diseriusi, sob (kalo kata anak sekarang mah woles). Di sini, saya pengen nulis soal manajemen keuangan publik. Tahun ini, ternyata tahun pertama dana desa--sumber dr APBN 2015--dialokasikan ke desa (mohon dikoreksi kalau salah).
Sebelum lanjut, opo iku dana desa? Dana desa adalah dana yg bersumber dr APBN yg digunakan utk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemayarakatan, sampai pemberdayaan masyarakat desa. Nah, sob, dari dimensi pembinaan masyarakat itu, memuat semua jenis kegiatan yg sifatnya membina masyarakat. Misalnya, masyarakat desanya gemar mengolah si kulit bundar, ada tuh sob alokasi dananya. Entah utk membeli bola, kostum, dan keperluan olahraga lainnya. Harusnya, pemerintah desa bisa membina atau seenggaknya mengamati anak-anak yg punya potensi di bidang itu. (Ini baru contoh kecil sob). Kudunya lagi, kalau ada kegiatan yg sifatnya membina masyarakat, di situlah desa hadir dan memberi dukungan moril atau materil. Dukungan materil, emang ada? Ada sob dr APBN. Terus, APBN sendiri sumbernya dr mana? ( takut ada yg nanya) APBN itu sumbernya dr pajak bumi, bea cukai, retribusi daerah, dan masih loba keneh. Jadi, APBN itu bukan duitnya Pak Jokowi, juga bukan duitnya pak kepala desa (kades). Dan saya harap, pak kades pun jgn ngeklaim duit itu dr kantongnya yah he he.
Balik lg ke tema. Ingat, temanya tentang manajemen keuangan publik. Menurut Salvatore Schiavo-Campo dan Daniel Tommasi, manajemen keuangan publik itu terbagi menjadi empat kategori yakni, dimensi ekonomi, dimensi manajemen, dimensi kepentingan publik, dan dimensi politik. Nah, dari keempat dimensi itu, saya pengen nyorotin dimensi kepentingan publik. Kenapa? Karena di sinilah biasanya para pemerintah desa nganggep mereka paling tahu dan paham tentang kondisi desanya tanpa melibatkan masyarakat. "Publik desa itu nggak perlu tahu," mungkin pikirnya begitu. Dikira, desa itu punya sendiri kali yah hihi. Ingat pak kades, sasaran kunci manajemen keuangan publik dr dimensi kepentingan publik itu; transparansi, akuntabilitas, dan orientasi pd kepentingan masyarakat.
Sisi transparansi menghendaki, dana APBN dialokasikan secara jujur dan terbuka alias jangan ditutup-tutupin. Nggak cuma itu, kualitas dokumentasi anggaran yg ngegambarin tujuan alokasi dana desa dan bagaimana dana itu digunakan juga harus ditingkatin, pak. Sisi akuntabilitas bermaksud, bagaimana alokasi dana desa bisa disalurkan dlm bntuk barang dan jasa utk kepentingan umum. Tapi, lagi-lagi nggak cuma nyampe situ pak kades. Intinya, bagaimana dana desa bermanfaat bagi masyarakat desa, bukan bermanfaat bagi pemerintah desanya. Apalagi, akuntabilitas menitikberatkan pada pertanggung jawaban dana desa yg pd hakikatnya berasal dr kontribusi warga negara. Tuh, makin jelas aja kalau dana itu bukan dr pak kades. Sisi terakhir, orientasi. Sisi ini bermaksud, alokasi dana desa didesain memenuhi tujuan pemberdayaan desa agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis. Kurang lebih, kaya konsep Trisakti gitulah.
Pak kades yg saya cintai, dalam manajemen alokasi dana desa, masyarakat desa jd sasaran utama. Awas, jangan keliru, nanti yg jd sasaran utama bukan pribadi, keluarga, dan bukan para sahabat karib di pemerintahan desa. Karena itu, pemanfaatan dana desa harus memfasilitasi adanya partisipasi dan interaksi masyarakat di dalamnya hingga manfaatnya terasa di masyarakat baik langsung maupun tidak. Kayanya, belum pernah tuh saya lihat pemerintah desa ngadain musyawarah bareng (non orang-orang yg duduk di pemerintahan desa yah) atau sekadar berinteraksi dengan para marhaen. Atau jangan-jangan sayanya yg nggak tahu. Entahlah. Tp setidaknya, dgn beinteraksi langsung dgn masyarakat, pak kades jd benar-benar tahu kebutuhan mereka. Dan bukan berlagak sok tahu yah pak. Menurut saya pak, walaupun di desa ada BPD dan permusyawatan desa, tapi keberadaannya seolah hampa dan tak ada guna. Udah kaya lirik lagu aja nih haha.
Pak kades yg saya hormati lebih dr apa pun, aspirasi masyarakat itu perlu diserap, ditampung, dihimpun, dan ditinjaklanjuti. "Jangan omdo," kata Pak Beye saat mengisi kuliah umum di kampus saya.
Al akhir, pak kades, ingat, masyarakat desa itu punya hak utk mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelanggaraan pemerintahan desa, termasuk mengawasi alokasi dana yg bersumber dr APBN itu. Hal ini sesuai dengan amanat UU No 6/2014 tentang desa. Jadi, saya boleh kan kalo sewaktu-waktu, saya minta data penggunaan dana desa itu. Kalau pak kades ndak percaya, silakan dicek saja UU-nya di internet. Eh, tapi di desa saya udh ada internet belum yah, lali aku, tanya pak kades saja deh. Tulisan ini, hanya ungkapan kegelisahan saya saja sbg salah satu masyarakat desa yang sudah bosan dengan kediaman. (GB, 11 Januari 2015).
Sebenarnya, paragraf di atas cuma lanturan imaji yg nggak perlu diseriusi, sob (kalo kata anak sekarang mah woles). Di sini, saya pengen nulis soal manajemen keuangan publik. Tahun ini, ternyata tahun pertama dana desa--sumber dr APBN 2015--dialokasikan ke desa (mohon dikoreksi kalau salah).
Sebelum lanjut, opo iku dana desa? Dana desa adalah dana yg bersumber dr APBN yg digunakan utk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemayarakatan, sampai pemberdayaan masyarakat desa. Nah, sob, dari dimensi pembinaan masyarakat itu, memuat semua jenis kegiatan yg sifatnya membina masyarakat. Misalnya, masyarakat desanya gemar mengolah si kulit bundar, ada tuh sob alokasi dananya. Entah utk membeli bola, kostum, dan keperluan olahraga lainnya. Harusnya, pemerintah desa bisa membina atau seenggaknya mengamati anak-anak yg punya potensi di bidang itu. (Ini baru contoh kecil sob). Kudunya lagi, kalau ada kegiatan yg sifatnya membina masyarakat, di situlah desa hadir dan memberi dukungan moril atau materil. Dukungan materil, emang ada? Ada sob dr APBN. Terus, APBN sendiri sumbernya dr mana? ( takut ada yg nanya) APBN itu sumbernya dr pajak bumi, bea cukai, retribusi daerah, dan masih loba keneh. Jadi, APBN itu bukan duitnya Pak Jokowi, juga bukan duitnya pak kepala desa (kades). Dan saya harap, pak kades pun jgn ngeklaim duit itu dr kantongnya yah he he.
Balik lg ke tema. Ingat, temanya tentang manajemen keuangan publik. Menurut Salvatore Schiavo-Campo dan Daniel Tommasi, manajemen keuangan publik itu terbagi menjadi empat kategori yakni, dimensi ekonomi, dimensi manajemen, dimensi kepentingan publik, dan dimensi politik. Nah, dari keempat dimensi itu, saya pengen nyorotin dimensi kepentingan publik. Kenapa? Karena di sinilah biasanya para pemerintah desa nganggep mereka paling tahu dan paham tentang kondisi desanya tanpa melibatkan masyarakat. "Publik desa itu nggak perlu tahu," mungkin pikirnya begitu. Dikira, desa itu punya sendiri kali yah hihi. Ingat pak kades, sasaran kunci manajemen keuangan publik dr dimensi kepentingan publik itu; transparansi, akuntabilitas, dan orientasi pd kepentingan masyarakat.
Sisi transparansi menghendaki, dana APBN dialokasikan secara jujur dan terbuka alias jangan ditutup-tutupin. Nggak cuma itu, kualitas dokumentasi anggaran yg ngegambarin tujuan alokasi dana desa dan bagaimana dana itu digunakan juga harus ditingkatin, pak. Sisi akuntabilitas bermaksud, bagaimana alokasi dana desa bisa disalurkan dlm bntuk barang dan jasa utk kepentingan umum. Tapi, lagi-lagi nggak cuma nyampe situ pak kades. Intinya, bagaimana dana desa bermanfaat bagi masyarakat desa, bukan bermanfaat bagi pemerintah desanya. Apalagi, akuntabilitas menitikberatkan pada pertanggung jawaban dana desa yg pd hakikatnya berasal dr kontribusi warga negara. Tuh, makin jelas aja kalau dana itu bukan dr pak kades. Sisi terakhir, orientasi. Sisi ini bermaksud, alokasi dana desa didesain memenuhi tujuan pemberdayaan desa agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis. Kurang lebih, kaya konsep Trisakti gitulah.
Pak kades yg saya cintai, dalam manajemen alokasi dana desa, masyarakat desa jd sasaran utama. Awas, jangan keliru, nanti yg jd sasaran utama bukan pribadi, keluarga, dan bukan para sahabat karib di pemerintahan desa. Karena itu, pemanfaatan dana desa harus memfasilitasi adanya partisipasi dan interaksi masyarakat di dalamnya hingga manfaatnya terasa di masyarakat baik langsung maupun tidak. Kayanya, belum pernah tuh saya lihat pemerintah desa ngadain musyawarah bareng (non orang-orang yg duduk di pemerintahan desa yah) atau sekadar berinteraksi dengan para marhaen. Atau jangan-jangan sayanya yg nggak tahu. Entahlah. Tp setidaknya, dgn beinteraksi langsung dgn masyarakat, pak kades jd benar-benar tahu kebutuhan mereka. Dan bukan berlagak sok tahu yah pak. Menurut saya pak, walaupun di desa ada BPD dan permusyawatan desa, tapi keberadaannya seolah hampa dan tak ada guna. Udah kaya lirik lagu aja nih haha.
Pak kades yg saya hormati lebih dr apa pun, aspirasi masyarakat itu perlu diserap, ditampung, dihimpun, dan ditinjaklanjuti. "Jangan omdo," kata Pak Beye saat mengisi kuliah umum di kampus saya.
Al akhir, pak kades, ingat, masyarakat desa itu punya hak utk mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelanggaraan pemerintahan desa, termasuk mengawasi alokasi dana yg bersumber dr APBN itu. Hal ini sesuai dengan amanat UU No 6/2014 tentang desa. Jadi, saya boleh kan kalo sewaktu-waktu, saya minta data penggunaan dana desa itu. Kalau pak kades ndak percaya, silakan dicek saja UU-nya di internet. Eh, tapi di desa saya udh ada internet belum yah, lali aku, tanya pak kades saja deh. Tulisan ini, hanya ungkapan kegelisahan saya saja sbg salah satu masyarakat desa yang sudah bosan dengan kediaman. (GB, 11 Januari 2015).
Posting Komentar