Minimnya Sikap Akseptabilitas


Pascapenetapan pasangan Jokowi-JK sebagai presiden terpilih, aroma persaingan Kubu Prabowo dan Jokowi sempat menguap. Kini, keduanya (Prabowo dan Jokowi) memang tak lagi berkompetisi secara langsung (direct competition). Namun, hal itu bukan berarti persaingan di antara keduanya telah usai. Sebab, koalisi yang mereka bangun, nampaknya diproyeksikan untuk melanjutkan persaingan tersebut.

Saat penetapan ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), misalnya. Nuansa persaingan sangat kentara. Terbukti, dari banyaknya interupsi para anggota dewan yang mewarnai pemilihan ketua MPR saat itu. Sehingga pemilihan pun berjalan ngotot dan alot.

Sebagai Negara yang menganut sistem presidensial, pos ini memiliki peranan strategis dalam memuluskan jalannya roda pemerintahan. Karenanya, bukan hal yang ganjil, saat pemilihan ketua MPR kemarin, Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) terlihat saling berebut dan tak jarang adu mulut.

Nuansa persaingan pun kembali kian memanas. Lebih lagi, kala itu posisi ketua MPR dimenangi Zulkifli Hasan, yang tak lain berasal dari kubu KMP. Melihat kemenangan ini, KIH sebagai koalisi pemegang pemerintahan, nampaknya merasa khawatir akan stabilitas pemerintahan. Keberadaan KMP dinilai akan merecoki atau menjadi oposisi pemerintah.

Sementara itu, dalam acara yang disiarkan salah satu stasiun televisi swasta, Koordinator Pelaksana KMP, Idrus Marham, menegaskan keberadaan KMP bukan untuk menjadi oposisi melainkan menjadi penyeimbang pemerintah.

Ketidakharmonisan kedua koalisi besar ini merupakan sebuah keniscayaan ketika dua koalisi kuat duduk di dalam satu tubuh pemerintahan. KMP, dengan kekuatannya memiliki anggota mayoritas di DPR RI, dan KIH yang menjadi penguasa eksekutif atau kepala negara.

Setidaknya, kondisi ini menunjukkan kehidupan demokrasi kita yang mulai menampilkan kekuatan penyeimbang. Dengan keseimbangan kekuatan ini, rasanya takkan ada lagi tirani mayoritas atau tirani penguasa otoriter.

Sementara di sisi lain, dengan kondisi yang saat ini terjadi, masing-masing kubu koalisi nampaknya belum bisa menunjukkan sikap kenegarawanan yang sejati. Atau dengan kata lain, kedua koalisi masih menempatkan kepentingan partai di atas kepentingan rakyat.

Baru-baru ini, kehadiran DPR tandingan dari kubu KIH seolah menjadi bukti konkret belum tercapainya kesepakatan dan kesepahaman politik di antara keduanya. Bisa jadi, kehadiran DPR tandingan menjadi indikator bahwa KIH merasa tak leluasa dengan kondisi di tubuh DPR sekarang. Bisa pula, hal ini dilakukan KIH sebagai langkah preventif untuk menjaga Presiden Jokowi dari intervensi-intervensi kubu KMP.

Namun, yang pasti, kekisruhan yang terjadi di tubuh DPR saat ini merefleksikan terjadinya krisis kepercayaan dan minimnya nilai-nilai dukungan yang dimanifestikan oleh kedua koalisi tersebut.

Menurut kaca mata saya, salah satu koalisi ini masih belum legowo menerima Jokowi sebagai presiden terpilih, sedangkan koalisi lain, dalam proses dinamikanya juga tidak menerima kubu KMP menguasai parlemen.

Mestinya, keseimbangan kekuatan ini menjadi pemicu terciptanya proses demokrasi yang utuh dalam rangka menghasilkan kebijakan-kebijakan pro rakyat. Sebab, kondisi di tubuh DPR sekarang adalah momentum yang sangat potensial untuk meredam munculnya kebijakan-kebijakan pro partai. Jika cara berpikirnya demikian, tentu takkan ada lagi polemik atau kekisruhan yang mewarnai kepemimpinan Jokowi ini. 


0 komentar :

Posting Komentar

Cancel Reply

Posting Komentar