Tertawa Wujud Nikmati Tanda
Kembali, kutulis dengan kata. Lewat kata aku
mencurahkan rasa. Dengan rasa aku mencintai sesuatu. Sesuatu yang menurutku,
bisa menciptakan dan memberikan kenyamanan, keharmonisan, kesenangan dan
kebahagiaan.
Sesuatu itu memang abstrak. Namun, dampaknya
sungguh luar biasa dalam mewarnai kehidupanku. Sesuatu itu mendeskripsikan
semua ciptaan Tuhan. Sebagai wakil Tuhan, aku hendaknya bisa
menginterpretasikan dan menikmati semua tanda-Nya.
Ciptahan Tuhan memang beragam. Dengan
kuasa-Nya, ia mampu menghiasi dunia ini dengan keanekaragaman hayati, budaya,
ras, dan etnis. Rasanya, tak ada yang sulit bagi-Nya untuk membuat sesuatu yang
tidak mungkin menjadi mungkin.
Bagi manusia, hidup dalam keberagaman agama,
suku, dan budaya tak semudah menjalani hidup di lingkungan yang memiliki paham
dan latar belakang serupa. Apalagi, bila kita berkaca di Indonesia, tak sedikit
kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama. Hal ini merupakan konsekuensi dari
negara keberagaman.
Sejatinya, perbedaan agama memang problematika
yang sensitif. Atas dasar agama, manusia berani untuk menyakiti sesamanya. Juga
atas nama gama, manusia seolah berlindug
di balik benteng yang bertuliska agama. Akibatnya, arogansi dan diskriminasi
pun tak terhindarkan.
Meski demikian, keberagaman merupakan nilai
estetika dalam kehidupan. Karena dengan keberagaman, hidup menjadi lebih
variatif dan bukan sebaliknya. Mestinya,
keberagaman dipahami sebagai wujud atas karunia dan kasih sayang Tuhan.
Rasanya, aku tak bisa membayangkan jika dunia
ini hanya dihuni makhluk-makhluk yang memiliki model dan karakter serupa.
Hambar (no sense) mungkin itulah kata yang pertama kali akan keluar dari
mulutku.
Memandang hamparan dunia dengan pandangan tabu
dan hampa. Tak ada canda dan tawa yang bisa membuatku semakin menikmati hidup
ini. Hidup ini harus dinikmati, menikmati hidup berarti siap untuk menerima
persoalan.
Meskipun, aku juga terkadang jatuh ketika
ditimpa persoalan. Namun sejatinya, persoalan memang membuat kita semakin kuat
dan terbiasa untuk menjalani kehidupan yang sulit. Teringat, ketika aku bermain
Pro Evolution Soccer (PES) dengan
beberapa temanku.
Ayub, Atep, Adi, dan Widodo begitulah aku
memanggilnya. Belakangan ini, sering kuhabiskan waktuku hanya sekadar untuk
bermain game. Sebuah game yang tak pernah membuatku bosan. Tak
jarang, game ini juga kujadikan sebagai pelepas lara dan lelah setelah
seharian beraktivitas.
Menurutku, game ini bukan hanya menawarkan
kesenangan. Tetapi, game ini juga mengajarkanku bagaimana beradu gengsi,
mental, dan skill di antara kompetitor lain. Namun yang terpenting
adalah, kepuasan batin yang kurefleksikan dengan senyum dan tawa.
Mungkin, untuk saat ini, tak banyak yang bisa
membuatku tertawa. Walaupun, sebenarnya, aku tergolong pribadi yang gemar tertawa.
Sekalinya tertawa, akan kuletupkan suara tawaku itu. “Maklum, suara tawaku kan
gede,” ucapku.
Menurutku, tertawa merupakan sesuatu yang
solutif dalam memecahkan keheningan dan kebosanan. Terlebih, dalam kehidupan
organisasi yang sedikit-banyak membuatku jenuh. Karenanya, sangatlah penting di
dalam sebuah organisasi terdapat orang-orang yang bisa menciptakan
keramaian.
Tak hanya itu, tertawa juga seolah menjadi
granat yang sewaktu-waktu bisa meledak. Meledakkan kenormatifan dan
menghadirkan ketidaknormatifan. Tertawa itu perlu. Karena dengan tertawa, aku
bisa mengekspresikan indraku untuk merasakan sebuah tanda.
Dahulu, sebelum aku masuk LPM INSTITUT.
Kehidupanku di kampus, sering diwarnai keceriaan yang dilakonkan temanku. Koto, begitulah sapaanku. Dia
merupakan, pribadi yang menyenangkan, dan bertutur apa adanya.
Tutur katanya, sikapnya, tingkahnya sering
membuatku tertawa. Tak hanya aku, temanku yang lain juga mengamini hal
tersebut. Entah, aku juga tak mengerti, kenapa di setiap aku bersamanya, tawa
itu selalu ada.
Pertemananku dengannya, dimulai pada saat aku
duduk di semester satu. Raut wajahnya yang lucu, seolah menjadi anugrah baginya
untuk menghibur siapapun yang menjadi temannya. Namun, kini, tawa itu tak lagi
kurasa, setelah aku memilih konsentrasi yang berbeda dengannya.
Meski demikian, kini, aku tak perlu khawatir.
Karena aku telah menemukan sahabat baru yang juga memberikan tawa. Sahabat itu,
kutemukan di LPM. Terutama, keempat sahabatku. Mereka itu hebat. Dengan
karakter yang berbeda-beda, keberadaan mereka seolah menjadi obat bagiku.
Keempatnya memiliki cara yang khas dalam
menghadirkan tawa. Widodo misalnya, logat jawanya yang kental seakan menjadi
santapan empuk bagi Ayub untuk menggodanya. Tak jarang, ketika Ayub menirukan
logat berbahasa jawa ala Widodo, aku sering tertawa. Bahkan, dipastikan
tertawa. Bagaimana tidak, logat yang diperagakan Ayub tersebut, menurutku,
sebuah lelucon yang unik dan tak pernah kudengar sebelumnya.
Hal serupa juga diikuti pemimpin redaksiku
(Pimred). Terkadang, di sela-sela rapat atau diskusi, ia sesekali menirukan
logat berbahasa jawa ala Ayub. Tak ubanya Ayub, tutur pimredku juga kerap
membuatku tertawa. Rasanya, temanku yang lain juga merasakan hal serupa
sepertiku.
Mungkin, hal-hal di atas merupakan segelintir
dari sekian banyak sesuatu yang bisa membuatku tertawa. Tentu, berangkat dari
hal-hal yang terdekat, agar teman-temanku bisa merasakan rasa dan sensasi
tawaku. Tawailah, sesuatu yang bisa
membuatmu tertawa. Salam tawa.
Posting Komentar